Karinding yang Mencari Celah Hidup.
KEHIDUPAN memang sudah berubah. Dulu, di wilayah yang dipenuhi sawah dengan udara yang masih segar karena minimnya polusi serta suasana yang lebih hening daripada sekarang, masyarakat masih dapat menghibur diri sendiri dengan memainkan alat musik yang bernama karinding.
Namun sekarang? Dengan kondisi yang sudah berubah, sawah semakin sedikit tergantikan oleh pemukiman, atau pusat-pusat perbelanjaan dan industri, suasana pun menjadi lebih ramai dan hiruk-pikuk. Sarana menghibur diri? Sudah lebih banyak media yang memberikannya seperti radio, televisi, ataupun alat musik yang lebih populer seperti gitar dan lainnya.
Tentu saja hal itu membuat penggunaan alat-alat musik buhun menjadi tersingkir. Termasuk alat musik semacam karinding yang biasa dimainkan secara individual di daerah
Jawa Barat. Ia semakin terpinggirkan dan dilupakan keberadaannya di Jawa Barat. Bahkan dianggap punah dan sudah tidak “dibudidayakan” lagi penggunaannya. Modernitas memang selalu mengorbankan banyak hal.
Karinding terbuat dari bilah bambu tipis berukuran panjang sekitar 15 cm dengan lebar sekitar 1,5 cm. Pada bagian tengah dibelah halus sehingga terbentuk semacam lidah memanjang yang dapat bergetar bila salah satu ujung alat ini kita pukul dengan jari. Untuk memainkan alat ini kita harus menempelkan bagian lidah yang bergetar di depan mulut yang berfungsi sebagai
resonator. Dengan memain-mainkan rongga mulut kita dapat membuat beberapa karakter bunyi dengungan pendek yang menarik.
Alat musik semacam ini sebetulnya dikenal cukup luas dengan berbagai ragam bentuk dan nama, seperti
genggong di
Bali dan Lombok, ginggung di
Madura, tung di masyarakat Dayak Kayan atau saga-saga di masyarakat Batak. Di Eropa juga dikenal alat sejenis dengan sebutan jew’s harp namun umumnya terbuat dari bahan metal. Walaupun peredaran alat musik ini cukup mendunia, namun konon asal-muasalnya adalah dari Asia Tenggara.
Di beberapa daerah di
Indonesia, ada cukup banyak fungsi sosial alat musik ini walaupun pada umumnya lebih dipergunakan sebagai sarana menghibur diri. Pemuda Mandailing di Tapanuli Selatan menggunakannya untuk memberikan semacam tanda atau pesan kepada perempuan idaman yang berada di dalam rumah. Perempuan Dayak menggunakannya untuk membangunkan sang suami agar segera berangkat ke ladang. Sedang di Jawa Barat, menurut Entang Sumarna yang biasa dipanggil Abah, di masa mudanya karinding sering dipakai sebagai alat hiburan kala beramai-ramai memanen sawah atau saat menyambut datangnya gerhana. Tak jarang pula dipergunakan sebagai sarana hiburan pada waktu berpacaran.
Entang Sumarna dikenal masyarakat desa Sindang Pakuwon (Parakan Muncang) Cicalengka sebagai generasi terakhir yang masih mampu membuat karinding. Namun di usianya yang sudah menginjak 74 tahun, Abah merasa semakin kesulitan untuk melanjutkan pembuatan karinding terutama pada bagian lidah yang memerlukan ketelitian tinggi. Kalau sekedar memainkan, Abah masih menampakkan semangat yang tinggi walaupun kadang mengeluh juga karena usianya yang membuatnya cepat kehabisan napas.
Untunglah seorang putranya, Endang Sugriwa atau dikenal dengan nama panggilan Kolot, akhirnya menaruh minat pada seni ini. Mulai setahun lalu, Kolot menanggapi perubahan zaman dengan sedikit berbeda, dia justru belajar membuat karinding dengan tekun. Walau sejak kecil sudah dapat memainkan karinding, namun baru belakangan ini saja Kolot secara intensif menggaulinya. Kemudian, dengan mengajak sejumlah teman yang juga tertarik, Kolot mulai mereka-reka kemungkinan yang dapat dilakukannya. Di antaranya membuat adaptasi irama serta lagu buhun untuk menjadi repertoar permainan karinding dalam format ensembel, selain mengarang sendiri lagu yang disesuaikan dengan karakter alat musik yang dipergunakan. Alat musik lain yang ditambahkan dalam ensembel ini adalah alat musik bambu yang cara memainkannya mirip kolintang. Alat ini disebut celempung yang dalam ensembel berfungsi sebagai kendang, kosrek dan ridu-ridu yang merupakan tiruan dari alat musik tradisional aborijin didgeridoo dengan fungsi sebagai gong, serta vokal.
Kelompok yang kemudian terbentuk ini diberi nama Giri Kerenceng, mengambil nama gunung di daerah itu. Jumlah personilnya sekitar 8 orang. Mungkin karena masih kurang dikenal, kesempatan untuk tampil bersama kelompok masih belum banyak didapatkan. Kolot dkk cukup menyadari hal ini sehingga tidak terlalu kecewa atas kondisi ini. Namun lewat beberapa rekan seniman lain, Kolot dkk mendapatkan beberapa kesempatan untuk memberikan workshop pembuatan karinding ke beberapa daerah di Jawa Barat. Hasilnya, beberapa siswa peserta workshop nampaknya dapat diharapkan mampu membuat karinding dengan baik. Tentunya diharapkan melalui proses ini dapat terjadi semacam revitalisasi bagi seni karinding ini. Hal tersebut dapat ditangkap dari sikap Kolot yang bersemangat bila ada undangan melakukan workshop.
Dari seluruh personil Giri Kerenceng, hanya Kolotlah yang mahir dalam pembuatan karinding, sehingga produksi karinding tidak dapat dilakukan dalam jumlah banyak. Beberapa pesanan yang datang kemudian tak dapat dipenuhi bila jumlahnya melebihi kemampuan, maklum dari sekitar 10 usaha pembuatan dalam satu hari, paling-paling hanya 2 atau 3 buah saja yang dapat dikatakan memenuhi syarat karakter bunyi yang baik. Pada karinding buatannya, Kolot menambahkan karet pengikat pada badan resonator bambu sebagai penjepit karinding. Resonator dibuat dengan berbagai ukuran, mulai dari yang berukuran panjang sekitar 20 cm hingga yang mencapai 1 meter. Badan resonator diberi hiasan relief sederhana. Beberapa resonator yang berukuran besar diberi penutup pada bagian atas sebagai pelindung karinding agar tidak mudah rusak bila dibawa-bawa bepergian.
Memang belum banyak yang dapat diproduksi dan dijual. Selama ini kadang-kadang saja ada peminat dalam jumlah kecil. Namun seorang rekan seniman mencoba membawa beberapa buah karinding buatannya ke Amerika serta memperkenalkannya pada seorang Denmark yang merekamnya dalam bentuk video, konon untuk tayangan televisi di sana.
Begitulah kesederhanaan menanggapi zaman yang dilakukan oleh Kolot dkk, seperti yang dikatakannya, “saukur neruskeun seni karuhun, dan generasi (panerus) na tos seep..”. Mungkin kita bisa renungkan lagi semangat semacam ini sambil menikmati dengungan didgeridoo, hentakan tabla atau jembe (dan bukan karinding) dalam rekaman-rekaman chillout music atau lounge music yang diputarkan di kafe-kafe bertaraf internasional di seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar